At-Thusi

OLEH: IMAM FADHOLI

1. Sekilas Nashiruddin At-Thusi

Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasam Nasiruddin Al-Tusi. Ia lahir pada 18 Februari 1201 di kota Tus dekat Meshed, Persia –sekarang sebelah timur laut Iran. Beliau di kenal dengan sebutan Nasiruddin al-Tusi, meskipun demikian beliau juga mempunyai beberapa nama berbeda oleh sebab kemahsyurannya, antara lain Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi dan Khuwaja Nasir. Al-Tusi pun dikenal sebagai ilmuwan serbabisa. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya, seperti astronomi, politik, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran hingga ilmu agama Islam.[1]

Sejak usia belia, Tusi sudah mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya dan pengetahuan logika, fisika, metafisika dari pamannya. Ketika menginjak usia muda, kondisi keamanan kian tak menentu. Pasukan Mongol dibawah pimpinan Jengis Khan yang berutal dan sadis bergerak cepat dari Cina ke wilayah barat. Sebelum tentara Mongol menghancurkan kota kelahirannya, beliau sudah mempelajari dan menguasai beragam ilmu pengetahuan.  Karena keahliannya, akhirnya ia direkrut penguasa dinasti Nizari Ismailiyah. Selama mengabdi, ia mengisi waktunya dengan menulis beragam karya penting tentang logika, filsafat, matematika serta astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlaqi Nasiri yang ditulisnya pada 1232.[2]

Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan cucu Jengis Khan pada tahun 1251 menguasai istana Alamut dan meluluh-lantakannya. Al-Tusi selamat, karena Hulagu ternyata sangat berminat terhadap ilmu pengetahuan. beliau pun diangkat Hulagu menjadi penasihat di bidang ilmu pengetahuan, bahkan diangkat sebagai wazir dan pengawas lembaga-lembaga agama pemerintahan Mongol. Karenanya, ia dapat meningkatkan pengaruh Imamiyah di Irak dan Iran, bahkan kecenderungan intelektualnya semakin bertambah saat Hulagu membangun observatorium untuknya. Beliau juga menulis biografi raja Mongol, yang berjudul Peraturan dan Kebiasaan Raja-raja Kuno, yang berisi nasihat-nasihat keuangan negara dan administrasi pemerintahan.

Karir ilmu pengetahuan dan kontribusunya terhadap dunia Islam sungguh besar. Ia wafat pada 26 Juni 1274 di Baghdad. Meski begitu, jasa dan kontribusinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan masih tetap dikenang hingga saat ini.

2. Integralitas Pemikiran

Abad 13 adalah masa kritis “kekhalifahan” Islam, sehingga sangat sedikit pemikiran politik yang berkembang. Bahkan sulit menemukan pemikir politik yang orisinal pada periode pasca-mongol tersebut. Akan tetapi kita mengenal Nasiruddin Al Tusi, seorang pemikir cemerlang yang memainkan peran intelektual dan pemikiran pemerintahan pada masanya. Beliau mempelajari filsafat Yunani dan filsafat Islam seperti karya-karya Aristoteles, Al Farabi, Ibn Sina dan sebagainya. Beliau juga dikenal ahli dalam bidang teologi dan fikih yang sangat berpengaruh di Nisapur, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban berpengaruh.

Beliau juga dikenal sebagai seorang astrolog handal serta menguasai matematika. Walaupun keahliannya ini menjadikannya tidak bebas dan dipaksa bekerja hampir dua puluh tahun sebagai astrolog di sebuah benteng Alamut dibawah kekuasaan dinasti Nizari-Islamiliyah. Menurut Antony Black, At Thusi tidak pernah menjadi pengikut Islamiliyah, kendati ide-ide Ismailiyah muncul dalam karyanya, yang kelihatannya telah diedit sebagian dikemudian hari. Bisa jadi at-Thusi juga menulis sebuah ringkasan tentang ajaran-ajaran Nizari Islamiliyah yang berjudul ‘Rawdhah alTaslim’ atau Tashawurat. [3]

Dalam pemikiran agama, al-Tusi mengadopsi ajaran-ajaran neo-Platonik Ibn Sina dan Suhrawardi, yang keduanya ia sebut, demi alasan-alasan taktis, “orang bijak” (hukuma) bukan sebagai Filsuf. Akan tetapi, berbeda dari Ibn Sina, ia berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, akan tetapi sebagaimana doktrin Syiah, manusia membutuhkan pengajaran yang otortatif, sekaligus filsafat. Ini menunjukkan kecenderungan teologi mistisnya.

Dalam pemikiran politik, al Tusi cenderung menyintesiskan ide-ide Arsatoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre Nasehat kepada Raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara Syiah dan filsafat. Buku etika-nya disajikan sebagai sebuah karya filsafat praktis. Karya ini membahas

SELENGKAPNYA: pemikiran at thusi

Leave a comment